Oleh ; Ust.Muhammad Ridwan Jalil
Salah satu imam qiraat yang bacaannya paling banyak diikuti adalah
Abu Bakar Ashim bin Abi An-Najud (w. 120 H), yang terkenal dengan nama Imam
Ashim. Qari’ asal Kufah ini berguru pada Abu Abdurrahman As-Sulami yang
merupakan murid langsung Ali bin Abi Thalib. Beliau juga belajar al-Quran dari
Zurr bin Hubaisy yang merupakan murid dari Abdullan bin Mas’ud. Beliau
mengajarkan al-Quran yang berasal dari jalur Ali bin Abi thalib kepada muridnya
Hafs bin Sulaiman, sementara untuk muridnya yang lain Abu Bakar bin Iyasy,
beliau mengajarkan al-Quran yang berasal dari jalur Abdullah bin Mas’ud.
Para ulama terkenal era tabi’in banyak yang pernah berguru
kepadanya, diantaranya Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah,
al-A’masy, Nuaim bin Maisarah, Atha’ bin Abi Rabah. Dua murid yang disebut pertama
di atas menjadi perawi utama dari Ashim. Antara Hafs (w.180 H) dan Syu’bah
(w.193 H) terdapat perbedaan 520 huruf meski keduanya sama-sama murid dari
Ashim. Bacaan Hafs mulai tersebar luas pada masa pemerintahan Turki Utsmani
didukung oleh banyaknya cetakan al-Quran dari Saudi Arabia hingga ke seluruh
dunia, padahal sebelumnya hanya mendominasi di kawasan timur saja (benua Asia).
Sebelum diulas tentang bacaan gharib versi Hafs, ada baiknya
dijelaskan terlebih dahulu di sini pengertian gharib itu. Istilah gharib terambil
dari bahasa Arab, menurut Ibrahim Musthafa (tt: 647/2) ia merupakan isim sifat
dari kata “gharaba – yaghribu” yang artinya ghamudla (sulit)
dan khafiya(samar). Dalam literature Arab, istilah gharib al-Qiraat tidak
popular dalam peristilahan ilmu qiraat dan tidak pernah dipakai dalam tulisan
para pakar ilmu qiraat. Istilah ini banyak dipakai dalam buku-buku tajwid di
Indonesia. Misalnya, metode “qira’ati” memasukkan bahasan gharib al-qiraah tersebut
pada jilid 6. Istilah tersebut dimaksudkan sebagai bacaan yang jumlahnya
terbatas dan orang awam jarang memahami dan mengenal bacaan tersebut.
Adakalanya istilah ini dimaknai sebagai bacaan-bacaan al-Quran yang mana antara
tulisan dan cara bacanya sedikit berbeda. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap
gharib adalah imalah, tashil, isymam, naql, badal, saktah, shilah.
Pembahasan
1.
Saktah
Secara bahasa kata “saktah” berasal dari bahasa Arab: سكت – يسكت – سكوتا
yang berarti diam; tidak bergerak. Adapun dalam istilah ilmu qiraat, saktah
adalah memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan (M.
Makky Nasr, tt:153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah banyak
dijumpai pada bacaannya Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf),
yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif,
seperti بالآخرة، عذاب أليم (Arwani Amin, tt:3-6).
Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; di al-Qur’an bacaan
saktah hanya ada di empat tempat, yaitu:
a.
Surat al-Kahfi ayat 1 :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ
عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( 1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ
بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ
الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2)
1.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab
(Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya;
2. (Sebagai bimbingan) yang lurus, untuk
memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita
gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa
mereka akan mendapat pembalasan yang baik,
b.
Surat Yasin ayat 52 :
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا
مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
Mereka
berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari
tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah
dan benarlah Rasul- rasul(Nya).
c.
Surat al-Qiyamah 27 :
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ
(27)
26.
Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke
kerongkongan, 27. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat
menyembuhkan?”,
d.
Surat al-Muthaffifin 14 :
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka.
Pada saktah (1), alasan linguistiknya adalah bahwa susunan kalimat
pada surat Al-Kahfi ayat 1 sudah sempurna. Dengan kata lain, apabila seorang
qari mewaqafkan bacaan pada kata عوجا, maka ia sudah berhenti pada waqaf tamm (sempurna).
Namun setelah melihat kalimat setelahnya itu ternyata terdapat kata قيّما ,
kalimatnya menjadi rancu. Kata قيّما bukan sifat/naat dari kata عوجا ,
melainkan jadi hal atau maf’ul bih, sehingga jelas tidak tepat
bila kalimat tersebut diterjemahkan: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai
ajaran yang bengkok serta lurus”. Mestinya terjemahannya adalah: “Allah
tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya
sebagai ajaran yang lurus. Terjemahan tersebut sesuai dengan analisis sintaksis
dan analisis I’rab oleh Ad-Darwisy.
Menurut Ad-Darwisy (2002:530/V) kata قيّما dinashabkan sebagai hal (penjelas)
dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat
bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” جعله “.
Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قيّما itu badal mufrad
dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “. Tidak mungkin seorang qari’
memulai bacaan (ibtida’) dari قيّما, sebagaimana juga tidak dibenarkan
meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya, karena beberapa alasan di
atas. Jadi, kalimat di atas baik diwashalkan maupun diwaqafkan sama-sama tidak
tepat, sebagai solusi dari keduanya adalah saktah.
Demikian juga halnya pada saktah (2) pada ayat: مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy (2002:213/VIII)
kata هذا
itu mubtada’ dan khabarnya مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat
Az-Zamakhsyari yang menjadikan kata هذا itu sifat dari مرقد, sementara ما sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan,
yaitu kata حق atau هذا. Dari aspek makna, kedua pendapat di atas dapat dipakai.
Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah
dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Kedua, orang yang
dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami
dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh
para rasul ini pasti benar. Dengan membaca saktah, kedua makna yang
sama-sama benar tersebut bisa diakomodir, sekaligus juga untuk memisahkan
antara ucapan malaikat dan orang kafir. Dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwa
kata هذا
dan seterusnya bukan perkataan orang kafir, melainkan perkataan malaikat atau
orang mukmin (As-Shabuni, 1997:16/III).
Sedangkan untuk pada من pada مَنْ –
راق dan بل pada بَلْ ران
yaitu untuk menekankan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai
kata penegas, juga untuk mempertegas idharnya lam dan nun karena biasanya dua
huruf tersebut bila bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang
(Al-Qaisy, 1987:II/55). Ibnu Zanjalah berpendapat bahwa kata من dan بل itu
perlu dipisahkan untuk menghindari idgham, sebab masing-masing merupakan kata
terpisah yang memiliki makna tersendiri.
Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah yang
dianjurkan oleh para imam qiraat termasuk Imam Ashim, yaitu:
1.
Pertemuan antara surat al-Anfal dan surat at-Taubah:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
() بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
2.
Pertemuan dua ha’ pada surat al-Haqqah, ayat 28-29:
مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ ()
هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Saktah
pertama, secara linguistik digunakan untuk memilah dua surat yang berbeda meski
tidak dipisah dengan basmalah, sementara saktah kedua dimaksudkan untuk
membedakan dua ha’, ha’ saktah pada مَالِيَهْ dan ha’ fi’il pada هَّلَكَ.
2.
Imalah
Secara
bahasa imalah berasal dari kata أمال – يميل – إمالة
(الرمح) yang berarti
memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah
berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’
(Abu Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan
al-Kisa’i, yaitu di antaranya pada kata yang berakhiran alif layyinah,
seperti الضحى، قلى، سجى، هدى. Namun pada riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata مجراها (QS.
Hud:41).
Dan
Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di
waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam
ilmu qira’at, ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina
baina dari qiraat Imam Warsy, terutama pada lafadz yang berwazan فَعلى، فِعلى، فُعلى (Arwani Amin, 18), hanya saja taqlillebih mendekati fathah
seperti bunyi re pada kata mereka.
Bacaan imalah diakui
termasuk salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk penduduk Najed
dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini bermanfaat untuk
memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca
fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih
ringan dari terangkatnya lidah (Abu Thahir, 1994:312). Juga dengan bacaan
imalah, huruf ya’ yang merupakan asal dari alif layyinah tersebut
akan tetap tampak ketika dibaca.
Alasan
diimalahkannnya kata “majraha” adalah untuk membedakan antara kata “majraha”
yang berarti berjalan di daratan dengan kata “majraha” yang berarti berjalan di
laut. Menurut kamus kontemporer bahasa Arab “Mu’jam al-lughah al-Arabiyyah
al-mu’ashirah, kata “majraha” berasal dari kata “jara” yang artinya berjalan
atau mengalir dan kata tersebut bisa digunakan baik berjalan di atas daratan
maupun di atas air, hanya saja kecendrungannya perjalanan kendaraan (misalnya
kapal laut) di air tidak stabil sebagaimana di darat. Adakalanya dihempas oleh
ombak atau terpaan angin besar, sehingga sangat rasional bila kata “majraha”
itu diimalahkan.
3.
Naql (Menggeser harakat)
Secara
bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقلا berarti memindah; menggeser. Adapun secara
istilah naql berarti memindahkan harakat ke huruf sebelumnya, sebagaimana yang
banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif
atau tanwin bertemu hamzah, contoh بالآخرة terbaca بلاخرة dan عذاب أليم terbaca عذابنليم .
Dalam
riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata بئس الاسم
(QS. al-Hujurat:11).
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Alasan bacaan naql pada kata الاسم yaitu terdapatnya dua hamzah washal
(hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan
ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang tergolong hamzah washal),
yang mengapit “lam” sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca ketika
disambung dengan kata sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah
untuk memudahkan umat Islam membacanya.
4.
Badal/Ibdal (mengganti huruf)
a. Penggantian
Hamzah dengan Ya’
Badal/ibdal
yang dimaksud di sini adalah إبدال الهمزة الساكنة
بالياء (mengganti hamzah
sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila
tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan
ya’ sukun, seperti لقاءنا ائت (QS. Yunus:15), في السموات ائتوني (QS .al-Ahqaf:4). Di bawah ini uraian ayat
selengkapnya:
Katakanlah:
“Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan
kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka
berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? bawalah kepada-Ku kitab
yang sebelum (Al Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang
dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS .al-Ahqaf:4)
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata,
orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata:
“Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[675] atau gantilah dia”. Katakanlah:
“Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak
mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika
mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS. Yunus:15)
Adapun bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’
dalam kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan (Al-Qadli, 1981:143).
b. Penggantian
Shad dengan Siin
Yakni
mengganti shad dengan siin pada kata يبصط (QS. al-Baqarah:245) dan بصطة (QS.
al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali
Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Al-Qadli, 1981:119) sedangkan pada بمصيطر
(QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain
halnya dengan المصيطرون (QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad
dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya (Al-Qadli, 1981:306).
Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu
mengembalikan pada asal katanya, yaitu بسط –
يبسط ، سيطر – يسيطر. Sedangkan
alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat usmani al-Qur’an dan juga
untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai
sifat isti’la’ (Al-Qaisy, 1987:I/34).
5.
Isymam
Yaitu
membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir
setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti نستعين . Dalam bacaan Imam Hisyam juga
mengisymamkan kata seperti قيل dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian
juga Imam Hamzah membaca isymam kata صراط، الصراط dengan memadukan bunyi ص dan ز
(Al-Qadli, 1981:15). Namun dalam bacaan Hafs isymam hanya ada kata لا تأمنا.
yakni lidah melafadzkan لا تأمننا tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya.
Berikut ini ayat selengkapnya: Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya
kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah
orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.
Kalau
diamati, ternyata rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun yang ditasydid.
Pertanyaan yang muncul, mana dlammahnya? sehingga untuk mempertemukan keduanya
dipilih jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedang gerakan bibir
mengikuti kata asal. Dalam bacaan imam Ibnu Amir untuk riwayat As-Susy, seperti
bacaan di atas disebut idgham kabir, yakni bertemunya dua huruf yang sama
dan sama-sama hidup, lalu melebur menjadi satu huruf. Dalam bacaan Imam Ashim,
hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shagir (mengidghamkan dua huruf
yang sama, yang salah satunya huruf mati).
Secara
bahasa, hal itu bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua
nun yang diidharkan, nun pertama dirafa’kan dan kedua dinashabkan (Al-Qaisy,
1987:II/161). Nun pertama dirafa’kan (didlammahkan) karena ia termasuk fi’il
mudlari yang tidak kemasukan ‘amil nawashibmaupun jawazim. Kata “la”
yang masuk pada kata “ta’manu” adalah nafy (yang berarti “tidak”) bukan nahy
(yang berarti “jangan”). Hal itu diambil dari pemahaman konteks ayat:
قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ
تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ
(Mereka,
saudara-saudara Yusuf, berkata: wahai ayah kami, mengapa engkau tidak percaya
pada kami untuk melindungi Yusuf, padahal kami selalu menasehatinya).
6.
Tas-hil
Arti
tashil secara bahasa memberi kemudahan atau keringanan, sedangkan dalam istilah
qiraat, tashil diartikan membaca hamzah kedua – dari dua hamzah yang beriringan
– dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنذرتهم،
أأنتم dan lain-lain.
Hanya
saja dalam riwayat Hafs bacaan tashil hanya satu yaitu pada QS.
al-Fusshilat:44).
Dan
Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab,
tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah
(patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.
dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al
Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang
dipanggil dari tempat yang jauh”.
Ketika
bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafadzkan kata
semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa
meringankan.
Juga
ada tashil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Nasr Makky (tt:137) ada enam tempat, yaitu
1.
Surat al-An’am ayat 143 : قُلْ
آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ
أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
2.
Surat al-An’am ayat 144 : قُلْ
آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ
أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ
3.
Surat Yunus
51
: أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ آلْآنَ
وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ
4.
Surat Yunus 91
: آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ
الْمُفْسِدِينَ
5.
Surat Yunus
59
: قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ
تَفْتَرُونَ
6.
Surat al-Naml
59
: قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ
اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ
7.
Madd & Qasr
Dalam
qiraat khusnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm
usmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di
antaranya:
a- ملك terbaca
مالك
Imam
Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek.
Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an : قل اللهم مالك الملك dan bukan ملك الملك juga karena maalik berarti
dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam
Allah berfirman: ملك الناس yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti
itu untuk kata hari pembalasan يوم الدين (Al-Qaisy, 1987:I/26).
b-أنا
terbaca أن ketika washal
Alasan
dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata أنا (dlamir yang berarti saya) karena fungsi
alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana menambahkan ha’
ketika berhenti (هاء السكت ). Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan
dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi
nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika
washal karena nun sudah berharakat (Al-Qaisy, 1987:II/61).
Ada juga lafadz yang mirip dengan أنا yaitu لكنا pada QS. Al-Kahfi:38. Berikut ini paparan
ayatnya: Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak
mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. yakni dibaca pendek ketika washal
dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari لكنا adalah
لكن + أنا
dan bukan لكن + نحن .
c- الرسولا، الظنونا، قواريرا
Imam
Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin,
sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa
tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul, keduanya
mewaqafkan tanpa alif (Al-Qaisy, 1987:II/352).
Alasan
mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khot
mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca karena
sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tidak boleh
ditanwin. Sedangkan الظنونا، الرسولا، السبيلا meskipun bukan termasuk jama’ akan tetapi
ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya terdapat fathah yang dipanjangkan
dengan alif (Al-Qaisy, 1987:II/353).
d- أولئك، أولوا، الملاء
Dalam
rasm usmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أولئك أولو، الملاء,
ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti هذا،
هذه، ذلك . Inilah yang
merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat.
8.
Shilah
Kaidah
umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir
yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti له، به, dan
juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, karena
tidak ada alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dan huruf
sebelumnya berharakat, inilah ijma para ulama qira’ah (Al-Qaisy, 1987:I/44),
sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti منه، إليه.
Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf
sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf
mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih (Al-Qaisy, I/42).
Kendatipun demikian dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang
dipanjang walau didahului huruf mati seperti ويخلد فيه
مهانا (QS. al-Furqan:69).
Dalam hal ini Imam Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah
ha’ (panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana
juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu
sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan Arab sendiri
jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi فيهي
atau عليهي (Al-Qaisy, 1987:I/42). Dan ada pula ha’ yang dipendekkan
(kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah,
yaitu يرضه لكم (QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada
bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Al-Qadli, 1981:274).
Alasan dipanjangkannya kata فيه yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang
mana ـه
berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan في menjadi فيهو , akan tetapi karena ha’ didahului ya’
sukun yang identik dengan kasrah maka harakat ha’ harus disesuaikan dengan
harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk
menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهي dan huruf mad diganti dengan harakat
kasrah berdiri: فيه . Al-Khalidi (2004:50) menyebut ha’ tersebut dengan
istilah “ha’ul khafdli” (ha’ panjang yang berfungsi merendahkan). Menurutnya
konteks ayat itu memang menghendaki dipanjangkannya ha’ tersebut. Ayat itu
menceritakan beberapa dosa dan kemaksiatan yang tidak akan dilakukan oleh “ibadur
rahman (hamba pilihan Allah yang pengasih)”. (yakni) akan dilipat
gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu,
dalam Keadaan terhina,
Sebagai
konsekuensi atas dosa yang dilakukan, mereka akan mendapatkan siksa yang pediah
serta abadi dalam kehinaan. Saat kita memanjangkan ha’ pada fii-hii,
seakan-akan kita ikut membantu melemparkan mereka ke neraka serta ikut
menjerumuskan para pelaku dosa tersebut ke jurang kehinaan (khafdlu).
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه dan
semacamnya yaitu mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu
mad setelah ha’. Demikian juga dalam al-Quran terdapat terdapat ha’ dlamir yang
didlammahkan meski jatuh setelah ya’ sukun (عليهُ), yaitu pada surat Al-Fath ayat 10. Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan
memberinya pahala yang besar.
Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah: bahwa pada bulan Zulkaidah
tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak
mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka
yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan
mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud
kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman,
tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian
tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan
agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun
Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama
Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah
sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur
Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka
melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan
kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
Menurut Al-Khalidi, Sifat memenuhi janji berjuang ini merupakan
sifat yang mulia dan luhur (rif’ah). Harakat dlammah memberikan nuansa kemuliaan
dan keagungan akhlak. Jadi tepat sekali Allah mendlammahkan ha’ tersebut karena
memang suasana sosiologisnya menunjukkan hal keluhuran itu, sehingga Al-Khalidi
menyebutnya ha’ tersebut dengan istilah ha’ rif’ah.
9.
Memfathah atau mendlammah dlad
Dalam
al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ضعْف
(QS. al-Ruum:54).
Allah,
Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Kata
tersebut adalah masdar dari ضعُف – يضعَف . Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca
harakat dlad, Imam Hamzah dan Imam Syu’bah (salah satu perawi dari Imam Ashim)
memfathah dlad dan lainnya kecuali Imam Hafs membacanya dengan dlammah.
Sedangkan Imam Hafs membaca keduanya, fathah dan dlammah.
Alasan
terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُف – يضعَف itu
mempunyai dua masdar yaitu ضَعْف dan ضُعْف , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر juga
mempunyai dua masdar yakni فَقْر dan فُقْر (Al-Qaisy, 1987:II/213).
10.
Hukum Membaca Basmalah Pada Surat Taubat
Dalam Mushaf Usmani semua surat al-Qur’an di awali dengan basmalah
kecuali surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu, sahabat
Nabi Ubay bin Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis
basmalah di awal setiap surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal
surat al-Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat
al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya.
(Inilah
pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada
orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian
(dengan mereka).
Imam
Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah
itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat
adzab atau siksaan (al-Qaisy, 1987:I/20).
Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di
awal surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca
basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat.
Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal
surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang
lain (Al-Qadli, 1981:13).
Daftar
Rujukan
1
Abu
Thahir, Abd al-Qayyum ibn Abd al-Ghafur. 1994. Shafahat fi Ulumal-Qiraat.
Madinah: Mathabi ar-Rasyid.
2
Ad-Darwisyi,
Muhyiddin. 2002. I’rabul Quran wa Bayanuh. Damaskus: Dar Ibn Katsir. Juz
I. Hal. 5-7.
3
Al-Khalidi,
Shalah Abd Fattah. 2004. Lathaif Qur’aniyyah. Damaskus: Dar al-Qalam
4
Al-Qadli,
Abdul Fattah. 1981. Al-Budur az-Zahirah. Cet. 1. Beirut: Dar al-Kitab
al-Araby.
5
Al-Qaisy,
Abu Muhammad Makki ibn Abi Thalib. 1987. Al-Kasyfu an Wujuh al-Qiraat
as-sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha. Cet. 4. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
6
Arwani
Amin. Tanpa tahun. Faidl al-Barakat. Kudus: Penerbit Menara Kudus
7
Ibrahim
Mushtofa. Tanpa tahun. Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Dar ad-Da’wah
8
Muhammad
Makki Nasr. Tanpa tahun. Nihayat al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid. Kairo:
Maktabat as-Sofa.