Rabu, 17 April 2019



Ustadz, mohon bantuan penjelesannya mengenai nisfu syaban. Apakah sebenarnya nisfu syaban itu, dan apakah benar pada malam itu disunatkan melakukan amalan/ibadah tertentu? Bagaimanakah hukumnya meyakini hal ini? Saya akan sangat bersyukur sekali bila ustadz dapat segera menjawab pertanyaan saya ini. Terima kasih.
JAWAB.
Memang benar bahwa secara umum bulan Sya’ban punya kekhususan tersendiri. Keterangan itu kita dapat dari hadits-hadits yang shahih, yang merupakan keterangan valid dari Rasulullah SAW.
1. Amal Hamba Diangkat ke Langit
Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Sya'ban merupakan bulan di mana amal shalih setiap hamba akan diangkat ke langit.
Salah satu dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berkut ini:
Dari Usamah bin Zaid berkata, saya bertanya, “Wahai Rasulullah saw, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban.” Rasul saw bersabda, "Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah)
2. Starting Point Persiapan Ramadhan
Di samping itu bulan sya’ban yang letaknya persis sebelum Ramadhan seolah menjadi starting point untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Sehingga isyaratnya adalah kita perlu menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan.
Dalam hal mempersiapkan hati atau sisi ruhiyah, Rasulullah saw. mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:
Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. (HR Muslim).
Mengkritisi Kekuatan Riwayat Amaliah Nisfu Sya'ban
Sedangkan khusus tentang keutamaan malam pertengahan bulan, atau lebih dikenal dengan istilah nisfu sya’ban, memang ada dalil yang mendasarinya. Namun para ulama berbeda pendapat tentang kekuatan derajat periwayatannya.
Sebagian kalangan menggunakan dalil-dalil lemah itu dengan alasan bahwa bila suatu hadits tidak terlalu parah kelemahannya, masih boleh digunakan landasan ibadah yang bersifat keutamaan. Sebagian lain agak ketat dalam menyeleksi dalil-dalil yang dianggap dhaif, sehingga semuanya dibuang begitu saja.
Di antara dalil-dalil yang dianggap lemah itu misalnya hadits berikut ini:
Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat.
Memang kalau kita mau jujur dengan hasil penelitian para muhaddtis, riwayat hadits ini tidak mencapai derajat shahih. Ada sebagian kalangan yang menghasankan, tetapi tidak sedikit juga yang secara tegas mendhaifkannya.
Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu sya’ban.
Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu sya’ban itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan Sya’ban tahun depan.
Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban itu, sebagaimana yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, kami tidak mendapatkan satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat.
Sebagaimana kita tahu, sebagian dari umat ini banyak yang mengkhususkan malam itu untuk membaca surat Yasin, atau melakukan shalat sunnah dua raka’at dengan niat minta dipanjangkan umur, atau niat agar menjadi kaya dan seterusnya. Memang praktek seperti ini ada di banyak negeri, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Mesir, Yaman dan negeri lainnya.
Bahkan mereka pun sering membaca lafaz doa khusus yang -entah bagaimana- telah tersebar di banyak negeri meski sama sekali bukan berasal dari hadits Rasulullah SAW.
Kritik terhadap Lafaz Doa Malam Nisfu Sya’ban
Sering kita dapati bahwa sebagian umat Islam memanjatkan doa khusus pada malam nisfu sya’ban. Di dalam doa itu mereka meminta agar Allah SWT menghapuskan taqdir yang buruk yang telah tertulis di lauhil mahfuz. Seperti doa berikut ini:
Ya Allah, jika engkau mencatat aku di sisi-Mu dalam ummul kitab, sebagai orang yang celaka (sengsara), terhalang, terusir, atau sempit rizkiku, maka hapuskanlah Ya Allah dengan dengan karunia-Mu atas kesengsaraanku, keterhalanganku, keterusiranku dan kesempitan rizkiku. Dan tetapkanlah aku disisimu di dalam ummil kitab sebagai orang yang bahagia, diberi rizki, dan diberi pertolongan kepada kebaikan seluruhnya. Karean sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu adalah benar, di dalam kitab-Mu yang Engkau turunkan melalui lisan nabi-Mu yang Engkau utus: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz).
Hal itu karena mereka berhujah bahwa Allah SWT dengan kehendak-Nya bisa menghapus apa-apa yang pernah ditulisnya di lauhil mahfuz dan menggantinya dengan taqdir yang lain. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz). (QS Ar-Ra’d: 39).
Oleh sebagian ulama, lafaz doa seperti itu dianggap bertentangan, karena apa-apa yang sudah tertulis di lauil mahfuz tidak mungkin dihapus. Karena ada sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali kebahagiaan, kesengsaran dan kematian.”
Ibnu Abbas berkata, ”Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali penciptaan, perilaku, ajal, rizqi, kebahagiaan dan kesengsaran.”
Selain itu lafaz doa itu seolah-olah menggantungkan kepada Allah SWT apakah ingin mengabulkan atau tidak. Padahal salah satu adab berdoa adalah harus ber’azam atau bertekad kuat untuk dikabulkan. Sedangkan penggunaan lafaz (bila Engkau kehendaki), seolah mengesankan tidak serius dalam meminta. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Bila kamu meminta kepada Allah SWT maka mantapkanlah permintaanmu itu.


(Di kutip dari Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA)

MAKNA LEBARAN DITINJAU DARI ASPEK PENDIDIKAN

MAKNA LEBARAN DITINJAU DARI ASPEK  PENDIDIKAN Oleh. Dr.H.M.Ridwan Jalil.M.Pd.I Setelah berpuasa satu bulan lamanya, Berzakat fitrah menurut ...