Dalam pengajian Majlis Ta'lim; seorang ibu bertanya . pak ustaz Saat Si A menikah dengan Si B, Si B hamil 5 bulan,. 6 bulan kemudian lahir Si C (perempuan ). Si C mau menikah , pertanyaannya; apakah syah pernikahan saat hamil?.. siapa wali Si C?..apakah KUAKEC atau Si A.????....
JAWABANYA :
Madzhab Syafi'i dan Hanafi menganggap sah pernikahan ini tanpa
harus menunggu anak zina lahir. Dengan alasan tidak ada keharaman pada anak
zina karena tidak ada nasab (keturunan). Berikut keterangan dari kitab-kitab
mazhab Syafi'i
- As-Syairazi dalam Al-Muhadzab 2/113
- As-Syairazi dalam Al-Muhadzab 2/113
وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا لأَنَّ حَمْلَهَا لاَيَلْحَقُ بِأَحَدٍ فَكَانَ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ
Artinya: Boleh menikahi wanita hamil dari perzinaan, karena sesungguhnya kehamilannya itu tidak dapat dipertemukan kepada seseorangpun, sehingga wujud dari kehamilan tersebut adalah seperti ketiadaannya.
- Ba
alwi dalam Bughyatul Musytarsyidin hlm. 201 menyatakan:
(مَسْأَلَةُ ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءُ الزَّانِى وَغَيْرِهِ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَع الكَرَاهَةِ
Artinya: Boleh menikahi wanita yang hamil dari perzinaan, baik oleh laki-laki yang menzinainya atau oleh lainnya dan menyetubuhi wanita pada waktu hamil dari zina tersebut adalah makruh.
- Al-Jazari dalam Al-Fiqh ala Madzahibil Arbaah juz 4/533 menyatakan:
أَمَّا وَطْءِ الزِّنَا فَإنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءِهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحِّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِى
Artinya: Adapun hubungan seksual dari perzinaan, maka sesungguhnya tidak ada 'iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari perzinaan dan halal menyetubuhinya sedangkan wanita tersebut dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah pendapat Syafii.
- Kompilasi Hukum Islam(KHI),
Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53
dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1.Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2.Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3.Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Keputuasan KHI di atas diperkuat oleh pendapat mayoritas ahli fiqh
(jumhur) yang membolehkan menikahi wanita yang dihamilinya. Juga diperkuat oleh
beberapa hadits sbb:
a)
Dari
Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang
berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau
bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram
tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).
b)
Seseorang
bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina."
Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan
diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan
An-Nasa'i)
c)
Dimasa
lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan
seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu
aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah),
"Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan
musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu.
Nikahilah dia, bila ada dosa maka `ku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban
dan Abu Hatim)
d)
Ibnu
Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita,
bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya
bertaubat dan memperbaiki diri."
e)
Kalangan
Sahabat Nabi yang membolehkan nikah dalam kasus ini antara lain: Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas
WALLAHU’ALAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar