Senin, 03 Oktober 2016

HASIL PENELITIAN DARI PUSAT JAKARTA TENTANG HIMPUNAN PENCERMAH JAMBI

PERAN HIMPUNAN PENCERAMAH JAMBI
DALAM PEMBANGUNAN BIDANG AGAMA DI KOTA JAMBI
The Roles of Jambi Preachers Association in the Development of
Religion Aspect in Jambi
M. Agus Noorbani
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jl. Rawa Kuning No. 06 Pulo Gebang Cakung, Jakarta Timur 13950
Email: agusbaca@gmail.com
Naskah diterima tanggal 18 Juli 2014. Naskah direvisi tanggal 11 Februari 2015. Naskah disetujui tanggal 22 Mei 2015
Abstrak
Pemuka agama memiliki peran penting di Indonesia, tidak saja dalam bidang keagamaan namun juga dalam bidang lainnya, terutama gerakan sosial kemasyarakatan. Menggunakan rancangan studi kasus, kajian ini berusaha menelaah peran para ustadz yang tergabung dalam Himpunan Penceramah Jambi dalam mendukung pembangunan bidang agama di Kota Jambi. Penelitian ini mendapati bahwa para ustadz ini memiliki peran, tidak saja sebagai pembimbing dan pemberi landasan moral dan etis, mereka juga bertindak sebagai motivator dan mediator antara masyarakat dengan pemerintah dan pengusaha.
Kata kunci: peran, ulama, pembangunan, Jambi
Abstract
The religious figures have the important role in Indonesia, actually not only in religious affairs but also in other aspects too, especially in social movement. The aim of case study design is to investigate the roles of Islamic teachers (ustadz) who are involved in Jambi Preachers Association (Himpunan Penceramah Jambi) in order to support the religious development programs in Jambi City. This study found that these religious teachers have the role, not only as the religious guides and the givers of moral and ethical foundation, but they also act as the motivators and the mediators among the people, government and businessman.
Keywords: role, preacher, development, Jambi
PENDAHULUAN
Kiai diposisikan sebagai panutan yang baik pada


segala aspek kehidupan di lingkungannya.

eran pemuka atau pemimpin agama Islam
Burhanudin (2012: 396) mengutip hasil

yang kerap disebut Ulama, Kiai, atau Ustadz
survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan

dalam gerakan sosial kemasyarakatan di
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Indonesia telah banyak ditelaah. Hal ini berkaitan
pada 2004 dan 2006, mempertegas bukti pentingnya
P

dengan posisi mereka dalam masyarakat yang
posisi ulama di kalangan umat Islam Indonesia.
sangat unik dan penting. Moesa (2002: 211)
Pada tahun 2004, dari 1.880 responden muslim di
menyatakan bahwa pentingnya posisi kaum ulama
berbagai wilayah Indonesia, 44.6% menyatakan
atau kiai ini tidak lepas dari karakteristik pribadinya
bahwa mereka cukup sering mendatangi ulama’
yang sarat dengan berbagai nilai lebih. Pada diri
untuk meminta nasihat keagamaan. Pada tahun
ulama atau kiai melekat kuat otoritas karismatik
2006, dari 850 responden yang disurvei, 63.9%
karena ketinggian ilmu agama, kesalehan, dan juga
responden menyatakan cukup sering meminta
kepemimpinan. Kondisi ini menjadikan ulama atau
nasihat keagamaan kepada ulama.
Peran Himpunan Penceramah Jambi Dalam Pembangunan Bidang Agama Di Kota Jambi - M. Agus Noorbani | 81
Riset yang dapat dianggap sebagai perintis kajian mengenai peran ulama atau kiai adalah apa yang dilakukan oleh Clifford Geertz pada1960-an. Geertz mendapati bahwa kiai menempati posisi sebagai pialang budaya (cultural broker). Jika pada masa sebelum kemerdekaan kiai merupakan komunikator, yang menghubungkan pusat Islam di Mekkah dengan para petani di pedesaan, maka setelah kemerdekaan berubah menjadi politisi yang mengageni pemerintah pusat di desa (Patoni,2007:15-16, Faridl, 2007:238, Burhanudin, 2012: 4). Karya Geertz ini kemudian mengilhami beberapa kajian lain mengenai peran ulama di ruang sosial kemasyarakatan.
Hiroko Horikoshi misalnya, memberikan perspektif segar dengan memperbaharui kajian yang pernah dihasilkan Geertz. Menurut Horikoshi, di tengah meningkatnya modernisasi dan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung cepat, justru karena semata memegang peran perantara, ulama juga memblokir saluran-saluran komunikasi darikekuatan-kekuatan perubahan serta menyembunyikan informasi untuk mencegah berkembangnya kaitan langsung di antara dua tujuan tersebut, dan menghindari hal-hal yang membahayakan posisi mereka. Namun demikian, kekuatan Kiai sebagai sumber perubahan sosial, bukan saja pada masyarakat pesantren, namun juga pada masyarakat di sekitarnya. Hanya saja, seberapa besar peran seorang kiai dalam mempengaruhi perubahan di sekitarnya tergantung pada besar atau kecilnya kualitas kharismatik yang dimilikinya (Patoni,2007:15–16, Faridl, 2007:238).
Hasil kajian Wahab (2008:113-144)mengenai parapemukaagamayangtergabungdalamNahdlatul Ulama (NU) di Kuala Tungkal, Jambi mendapati bahwa banyak pemuka agama di lingkungan NU yang mulai memperluas gerakan mereka menjadi tidak saja di institusi lembaga agama namun juga politik praktis. Hal ini terjadi karena banyaknya pemuka agama yang tergolong baru atau masih muda yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan mereka di tingkat formal perguruan tinggi, perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat akibat modernisasi dan kemajuan pembangunan, serta perubahan sistem politik yang memungkinkan para pemuka agama atau kaum ulama dapat ikut serta dalam perpolitikan.
Usai reformasi tahun 1998 yang menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru, yang menandakan babak
baru kehidupan berdemokrasi di Indonesia, banyak organisasi yang didirikan oleh masyarakat dalam berbagai bidang. Organisasi dakwah pun banyak didirikan, sehingga jika pada masa Orde Baru hanya dikenal sedikit organisasi kemasyarakatan Islam yang bergerak di bidang dakwah, seperti Majelis Ulama Indonesia, Ittihadul Mubalighin, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan sebagainya maka usai 1998 berdiri bermacam organisasi keagamaan di bidang dakwah. Salah satu organisasi dakwah yang didirikan di Kota Jambi adalah Himpunan Penceramah Jambi.
Himpunan Penceramah Jambi merupakan organisasi dakwah yang didirikan atas itikad para penceramah yang ada di kota Jambi. Tujuannya adalah untuk mengorganisir para penceramah yang ada di kota tersebut, di tengah meningkatnya animo masyarakat mendirikan dan menghadiri pendidikan keagamaan non-formal di majlis taklim. Tabel 1. berikut menyajikan data keagamaan mengenai jumlah masjid dan majelis taklim yang ada di Kota Jambi berdasarkan hasil sensus terakhir pada tahun 2012. Berdasarkan tabel tersebut diketahui, bahwa jumlah masjid yang ada di Kota Jambi berjumlah 306 unit sedangkan majelis taklim berjumlah 633, yang berarti jumlah majelis taklim ini dua kali lipat dari jumlah masjid yang ada.
Tabel 1. Data Keagamaan Kota Jambi 2012
No
Kecamatan
Masjid
Majelis Taklim




1
Telanaipura
79
60
2
Jambi Selatan
79
141
3
Kota Baru
40
139
4
Jelutung
40
60
5
Danau Teluk
18
30
6
Pasar
10
17
7
Jambi Timur
36
151
8
Pelayangan
4
35

Jumlah
306
633
Sumber: Diolah dari Data Keagamaan Kanwil Kementerian Agama Propinsi Jambi 2012 (Didapat dari http:// jambi.kemenag.go.id, dikases pada 16 April 2014)
Alim ulama atau di Jambi, biasa disebut sebagai tuan guru (sama dengan kiyai di Jawa atau ajengan di daerah sunda), adalah seseorang yang dianggap alim (ahli agama) tempat bertanya atas masalah-masalahkeagamaan yang timbul, menjadi panutan masyarakat, diikuti, dipatuhi, juga sebagai pemimpin sosial yang dihormati.
82 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 1 Juni 2015
Kajian Isma (Isma, 2005: 1-2) tentang peran, fungsi dan, kepemimpinan tuan guru pada masyarakat Jambi Seberang misalnya, mendapati bahwa peran ini telah berlangsung lama (long-rooted) melalui sejarah yang panjang. Tuan guru adalah aktor penting dalam membentuk corak dan sistem sosial budaya masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa hampir semua nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang berkembang sampai sekarang merupakan kontribusi, warisan (legacy) yang terus terpelihara keberlangsungannya lewat figur tuan guru tersebut. Dalam hal ini, kharisma tuan guru tidak hanya didasarkan pada penguasaannya pada bidang keagamaan semata namun lebih dari itu kharisma mereka juga diukur dari kapasitas kehidupan sosialnya berupa perilaku, pandangan, sikap, kepedulian dan integritasnya dalam membina kehidupan masyarakat di lingkungan sosialnya.
Peran sosial yang dimiliki oleh seorang tuan guru pada zaman dahulu lebih dominan pada bidang keagamaan dan berfungsi sebagai tokoh agama, pemangkudanimammasjid,pendidikdanpengelola madrasah, serta pelestari tradisi. Penghormatan mereka ini antara lain juga disebabkan adanya pemahaman masyarakat terhadap hadits Nabi Muhammad saw yang mengatakan bahwa “para ulama adalah pewaris nabi” (Isma, 2005: 7–12).Selain memiliki peran yang dominan dalam bidang keagamaan, tuan guru juga memiliki peran sosial kemasyarakatan terutama sejak rezim Orde Baru berkuasa dimana tuan gurudimanfaatkan sebagai legitimator setiap kebijakan yang berhubungan dengan kehidupan umat. Peran sosial tuan guru dalam kehidupan kemasyarakatan tersebut di antaranya adalah penghubung antara umat dengan pemerintah dan menjadi pengurus organisasi sosial keagamaan (Isma, 2005: 12–15).
Perubahan pandangan tentang ajaran agama dan tradisi agama serta pandangan tentang posisi dan fungsi tuan guru banyak ditemukan dikalangan masyarakat yang berumur antara 30 sampai 40 tahun. Hal ini dapat dipahami bahwa beberapa faktor penyebabnya antara lain adalah pendidikan dan hadirnya media informasi serta pergaulan dengan masyarakat luar dan faktor-faktorpenyebab lainnya (Isma, 2005: 16).
Bedasarkan latar belakang di atas, riset ini berusaha menelaah peran para ulama atau ustadz yang tergabung dalam Himpunan Penceramah Jambi dalam pembangunan bidang agama di
Kota Jambi. Berbeda dengan Isma (2005) yang melakukan riset pada peran tuan guru, yang merupakan ulama tradisional di Provinsi Jambi, kajian ini menelaah peran para ustadz atau ulama modern di Kota Jambi. Perbedaan kajian ini terletak pada bahwa tuan guru merupakan tokoh agama yang secara tradisi merupakan tokoh agama yang hanya mengenyam pendidikan non-formal seperti pesantren, sedangkan para ustadz yang tergabung dalam HPJ merupakan tokoh-tokoh agama yang telah mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi serta memiliki akses informasi yang luas.
Balai Penelitian dan Kemasyarakatan(Al-Bone, et al., 1988) pernah melakukan kajian mengenai penerangan agama dalam menunjang pembangunan agama. Kajian ini lebih menitikberatkan pada peran media penyiaran, bukan tokoh agama, dalam mendukung program pembangunan nasional. Hasil kajian ini mendapati bahwa media penyiaran seperti bulletin dakwah, radio, dan koran memiliki tingkat efektivitas yang memadai dalam menyebarkanprogram-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Hanya saja, kajian ini tidak memfokuskan pada pelaku yang terlibat dalam mengisi media penyiaran keagamaan tersebut.
Tujuan penelitian ini berusaha menelaah sisi lain peran pemuka agama di masyarakat. Berbeda dengan beberapa hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini akan menelaah peran pemuka agama dalam pembangunan bidang agama. Jika beberapa kajian yang telah lalu menitikberatkan fokus kajian pada peran pemuka agama atau kaum ulama’ dan posisi mereka di tengah masyarakat, penelitian ini lebih spesifik menelaah peran langsung mereka dalam membantu pemerintah menyukseskan program pembangunan bidang agama. Rumusan masalah utama penelitian ini adalah bagaimana peran Himpunan Penceramah Jambi dalam mendukung pembangunan bidang agama di Kota Jambi?.
Desain penelitian ini menggunakan desain studi kasus. Pendekatan sosiologi dipergunakan dalam analisis data yang terkumpul. Analisis data mendasarkan diri pada proposisi teoritis, (Yin, 2002:136) dam (Bungin, 2010: 233-235)bahwa pembangunan pada dasarnya diorientasikan pada upaya-upaya yang bersifat komprehensif bagi kemajuan aspek lahiriah dan batiniah
Peran Himpunan Penceramah Jambi Dalam Pembangunan Bidang Agama Di Kota Jambi - M. Agus Noorbani | 83
yang serasi dan utuh. Orientasi pembangunan semacam ini didasarkan atas pandangan, bahwa manusia merupakan entitas yang terdiri dari jasmani dan rohani. Kekosongan salah satu unsur dapat menghilangkan keseimbangan. Hilangnya keseimbangan berarti kegagalan mencapai tujuan pembangunan itu sendiri, yaitu kesejahteraan individu yang bersifat utuh (insan kamil) (Kahmad, 2009: 136–143).
Keterlibatan pemimpin agama dalam pembangunan, dengan mengacu pada penjelasan di atas, menjadi penting (elementer) dan tidak dapat dianggap sebagai peran pelengkap (suplementer). Dalam pelaksanaan pembangunan, peran pemimpin agama bahkan dapat diperluas tidak saja pada pembangunan bidang ruhani. Beberapa peran yang dapat dimainkan pemimpin agama dalam pembangunan adalah sebagai motivator, pembimbing dan pemberi landasan etis dan moral, serta sebagai mediator (Kahmad, 2009:136–143).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementerian Agama dalam meninjau ulang program penyuluhan agama Islam dan meninjau ulang pelibatan peran pemuka agama dalam membantu menyebarluaskan kebijakan pembangunan bidang agama. Selain bagi Kementerian Agama, hasil kajian ini juga dapat menjadi pertimbangan bagi instansi kementerian lain untuk melibatkan tokoh-tokoh agama yang disegani oleh masyarakat untuk diikutsertakan dalam penyebarluasan program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Tinjauan Pustaka
Peran
Peran atau peranan secara psikologis didefinisikan sebagai fungsi individu atau peranannya dalam dalam satu kelompok atau institusi. Peranan juga merupakan fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya (Chaplin, 2004: 439). Sementara peran (role) dalam sudut pandang sosiologis merupakan proses dinamis dalam sebuah kedudukan (status) seseorang atau lembaga tertentu untuk menjalankan hak dan kewajibannya (Soekanto, 2009: 212–213).
Perilaku seorang individu yang diharapkan darinya di tengah masyarakat, dalam konsepsi teori peran, tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu berada dalam kaitan dengan orang lain yang
berhubungan dengan dirinya (Sarwono, 2004: 215). George Herbert Mead (dalam Narwoko & Suyanto, 2006: 22) mempostulasikan bahwa “diri” (self) dibentuk dan diubah melalui interaksi dengan orang lain. Seseorang tidak dilahirkan dengan identitas dan karakteristik diri yang menjadi, melainkan dibentuk oleh lingkungannya melalui simbol-simbol dan sosialisasi. Kemampuan untuk menyesuaikan perilaku sebagai tanggapan terhadapsituasi-situasi sosial tertentu merupakan apa yang disebut dengan “pengambilan peranan”(role-taking). Peran dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, sebab fungsi peran sendiri adalah sebagai pemberi arah individu dalam bersosialisasi; memberikan warisan tradisi kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pengetahuan; dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat; dan menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat mempertahankan kehidupan masyarakat (Narwoko & Suyanto, 2006:160).
Peran seseorang dalam lingkup sosial, secara normatif memerlukan rujukan. Merton dan Kitt (dalam Sarwono, 2004: 222) menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat memerlukan kelompok rujukan untuk memunculkan peran mereka. Kelompok rujukan ini berfungsi dalam tataran normatif dan komparatif. Secara normatif, kelompok rujukan mendesakkan suatu standar tertentu bagi perilaku dan keyakinan atau kepercayaan anggotanya. Kelompok rujukan ini memiliki kekuatan atas individu, sehingga mau atau tidak, setiap individu mengikuti standar tersebut, entah baik atau tidak. Kesediaan untuk menerima desakan normatif ini biasanya disebabkan karena faktor bahwa seseorang hendak meneguhkan posisi dirinya yang merupakan bagian dari kelompok. Saat norma yang disodorkan diterima oleh seorang individu, maka terbentuklah nilai dalam diri individu tersebut, yang kemudian menjadi pedoman bagi perilaku dan keyakinannya.
Fungsi kelompok rujukan secara komparatif merupakan alat pembanding bagi individu untuk mengetahui apakah perilaku atau keyakinannya sudah benar atau masih salah. Perbandingan ini dapat dilakukan dalam pelibatan diri secara aktif atau pasif di dalam kelompok masyarakat. Fungsi komparatif yang bersifat pasif, merupakan usaha individu memanfaatkan kelompok rujukan sebagai tujuan informatif (Sarwono, 2004: 222).
84 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 1 Juni 2015
Agama dan Tokoh Agama
Konsep agama secara sosiologis adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia, tanpa perkecualian. Agama kerap diidentikkan dengan berbagai keharusan, ketundukkan, dan kepatuhan. Namun, tidak setiap ketaatan dapat disebut agama; bergantung kepada siapa ketaatan diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan dilakukan. Aspek penting yang mencirikan keyakinan dipandang sebagai agama adalah bahwa kepatuhan dan ketundukkan tersebut disertai dengan spiritualitas dan relijiusitas yang sakral (Kahmad, 2009: 14–15).
J. M. Yinger mendefinisikan agama secara fungsional sebagai sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka mengatasipersoalan-persoalan tertinggi dalam kehidupan manusia. Agama merupakan keengganan untuk menyerah kepada kematian, menyerah dalam menghadapi frustrasi, dan untuk menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuran ikatan- ikatan kemanusiaan (Scharf, 2004: 35). Agama bagi para penganutnya berisikanajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia danpetunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistemnilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong penggerak serta pengendali bagitindakan-tindakan anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilaikebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Narwoko & Suyanto, 2006: 249–250).
Durkheim (dalam Kahmad, 2009: 122–123) melihat agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Dengan kata lain, agama adalah sistem simbol di mana masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya; agama adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif. Bagi Durkheim, agama mengekspresikan nilai-nilai terdalam yang ada dalam tatanan sosial, mengenangsaat-saat yang berarti dalam sejarah dan memproyeksikan gambaran simbolik mengenai masa depan masyarakat. Agama pada saat tertentu dapat berfungsi menjadi pelindung tatanan sosial dan pada saat lainnya dapat menilai
kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu pada gambaran masyarakat ideal, yang dengan demikian, menumbuhkan gerakan pembaruan. Gerakan pembaruan dalam masyarakat melaluinilai-nilai agama, tentu saja membutuhkan sesosok figur yang memahami benarajaran-ajaran agama, yang biasa dikenal dengan pemuka agama.
Pemimpin agama memiliki sebutan berbeda di masing-masing agama. Pemeluk agama Islam di Indonesia sendiri memiliki beragam sebutan, yang juga bisa berbeda di masing-masingdaerah. Misalnya di daerah dengan penduduk yang banyak dihuni suku Jawa terkenal sebutanKiai, di daerah Sunda dikenal sebutan Ajengan, atau di Jambi dikenal sebutan Tuan Guru, dan sebagainya, (Isma, 2005: 1) Meski memiliki beragam sebutan, pemuka agama Islam ini secara umum disebut sebagai ‘alim ulama’ atau ulama' dan ustadz. Sementara di kalangan pemeluk agama Kristen Protestan dikenal sebutan Pendeta, Pastor bagi kalangan pemeluk agama Kristen Katolik, dan sebagainya.
Keterlibatan pemimpin atau pemuka agama dalam kegiatan pembangunan adalah dalam aspek ruhaniah. Unsur ini mustahil dapat terisi tanpa keterlibatan pemuka agama. Bahkan peran pemuka agama dalam pembangunan dapat diperluas menjadi motivator, pembimbing, pemberi landasan etis dan moral, dan menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan pembangunan. Berperan sebagai motivator, pemimpin agama dapat memberikan dorongan bagi masyarakat untuk menumbuhkan nilai-nilai positif dalam diri masyarakat, seperti bersikap optimis akan hidup, memiliki etos kerja yang tinggi, serta memberikan dorongan bagi masyarakat untuk selalu mau melakukan perubahan menjadi individu dan masyarakat yang lebih baik (Kahmad, 2009: 138–139).
Pemuka agama juga dapat berperan memberikan landasan moral dan etis bagi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan bekal pengetahuan agama yang mumpuni, pemuka agama dapat memberikan tuntunan dan patokan etis agama sebagairambu-rambu bagi masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Peran pemuka agama sebagai mediator dalam pelaksanaan pembangunan adalah peran mereka sebagai mediator dalam menjali kerja sama antara berbagai pihak, terutama mewakili masyarakat berhadapan dengan kebijakan pembangunan dari pemerintah atau masyarakat dengan pengusaha (Kahmad, 2009: 139–143).
Peran Himpunan Penceramah Jambi Dalam Pembangunan Bidang Agama Di Kota Jambi - M. Agus Noorbani | 85
Organisasi Masyarakat Keagamaan
Bekerja sama dengan orang lain atau hidup dalam sebuah kelompok, sudah menjadi fitrah manusia. Sebab, hampir tidak mungkin seseorang melaksanakan kegiatansehari-harinya tanpa bantuan orang lain. Tidak ada seorang pun yang mampu hidup sendiri.Tujuan-tujuan yang hendak dicapai seseorang dapat dicapai jika berhubungan dengan orang lain (Sutarto, 2006: 1) Organisasi merupakanperkumpulanantaraduaorangataulebih yang bekerja sama dan mempunyai ikatan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Tiga elemen pokok dari organisasi adalah interaksi manusia, kegiatan yang mengarah pada tujuan dan struktur (Gaol, 2014: 27) Menurut Kenneth C. Laudon (dalam Gaol, 2014: 28) organisasi adalah sebuah strukur sosial/ masyarakat yang tetap, yang mengambil sumber daya dari lingkungan dan kemudian memprosesnya untuk menghasillkan suatu keluaran.
Organisasi kemasyarakatan (ormas) menurutUndang-undang Nomor 17 tahun 2013 adalah organisasi yang didirkan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan, untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 4 menjelaskan, bahwa organisasi kemasyarakatan keagamaan yang selanjutnya disebut sebagai Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
Ormas keagamaan, mengacu pada Bourdieu dan Coleman (dalam Norris dan Inglehart, 2009: 219), memiliki peran penting bagi sebuah masyarakat. Menurut keduanya,ikatan-ikatan sosial dan norma-norma bersama memiliki nilai penting bagi kebaikan sosial dan efisiensi ekonomi. Mengembangkan teori Bourdieu dan Coleman ini, Putnam (dalam Norris dan Inglehart, 2009: 219)
lebih jauh menjelaskan bahwa ikatan-ikatan dannorma-norma bersama ini dapat menjadi modal sosial. Modal sosial dalam pandangan Punam adalah hubungan-hubungan di antara individu- individu, jaringan-jaringan sosial dan norma- norma ketimbal-balikkan dan kepercayaan yang muncul dari semua itu. Modal sosial dipahami sebagai fenomena strukturan dan fenomena budaya.
Inti utama teori Putnam ini terletak pada klaim bahwa jaringan-jaringan horizontal yang ada dalam masyarakat sipil memiliki dampak- dampak sosial penting, baik bagi orangorang-orang yang ada di dalam jaringan tersebut maupun bagi masyarakat pada umumnya. Jaringan-jaringan sosial ini terkait dengan norma-norma resiprositas umum dalam suatu jaringan tanggung jawab dan kewajiban bersama. Membangun jaringan dianggap mendorong kondisi-kondisi bagi kolaborasi, koordinasi, dan kerjasama untuk menghasilkan‘barang-barang’ kolektif. Keterlibatan aktif masyarakat dalam jaringan-jaringan seperti ini membuat mereka melakukan kontak langsung, mencapai tujuan-tujuan komunitas tertentu, dan mendorong berbagai karakteristik yang lebih luas. Pada gilirannya, modal sosial yang terwujud dalam jaringan-jaringan komunias seperti ini dianggap berfungsi sebagai sumber daya penting yang menghasilkan beragam keuntungan, mulai dari kebahagiaan dan kesehatan individu, kemakmuran ekonomi, toleransi sosial, hingga mengurangi kekerasan etnis. Bagi Putnam, modal sosial membuat kita lebih cerdas, sehat, aman, dan kaya (Norris dan Inglehart, 2009: 219-220).
PembangunanPembangunan dapat didefinisikan sebagai seperangkat kegiatan yang dilakukan dengan penuh kesadaran guna meraih perubahan di masyarakat dalam segala seginya sesuai dengan keinginan pelaku pembangunan. Aktivitas pembangunan memerlukan keterlibatan banyak pihak, terutama segenap komponen kekuatan utama masyarakat yang ada dalam suatu bangsa, yaitu politisi, birokrat, ekonom, teknokrat, budayawan, pendidik, juga pemimpin agama (Kahmad, 2009: 137) Galtung (dalam Trijono, 2007: 3) mendefinisikan pembangunan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara- cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam.
86 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 1 Juni 2015
Pada saat Perserikatan Bangsa-bangsa(PBB) mencanangkan dekade pembangunan, segera setelah perang dunia kedua, permasalahan yang dihadapi adalah kehancuran ekonomi dan prasarana pada negara-negarayang kalah atau menjadi korban peperangan. Tujuan dan sasaran awal pencanangan program pembangunan adalah sederhana, yaitu memberantas kemiskinan dan menjembatani kesenjangan, mengatasi penderitaan penduduk akibat kemiskinan dan ketidakadilan. Meski akar masalah pembangunan adalah kemiskinan dan terputusnya keadilan, namun kedua hal ini juga berdimensi sosial. Maka tujuan pembangunan diperluas tidak saja memberantas kemiskinan dan menjembatani kesenjangan, namun berorientasi pada perubahan masyarakat menuju ke arah yang yang lebih maju dan sejahtera (Kahmad, 2009: 136– 137).
Hakikat pembangunan di Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan mencakup; pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lainnya;kedua, kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat, dan sebagainya; ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana terscermin dalam perbaikan hidup yang berkeadilan sosial (Salim, 1991: 3) Luasnya ruang lingkup pembangunan, maka pencapaiannya dilakukan secara bertahap namun simultan (Salim, 1991: 3) Program pembangunan di Indonesia tertuang dalam Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJPMN). RPJPMN ini kemudian diaplikasikan pada setiap institusi pemerintah, baik kementerian maupun kantor pemerintahan daerah.
Provinsi Jambi telah membuat sebuah rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD) dalam kurun waktu 20 tahun, sejak 2005 hingga 2025. Dalam pembangunan bidang agama, RPJPD Propinsi Jambi tahun 2005-2025 menyatakan, bahwa kesadaran melaksanakan ibadah keagamaan berkembang dengan baik. Meskipun demikian, peningkatan kesadaran kehidupan beragama tersebut belum sepenuhnya diikuti dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Moralitas agama mengenai kejujuran, etos kerja, penghargaaan pada prestasi dan dorongan mencapai kemajuan belum bisa diwujudkan sebagai inspirasi yang mampu menggerakan masyarakat
untuk membangun diri, masyarakat dan daerahnya. Demikian pula pesan-pesan moral agama belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Di bidang kehidupan beragama tantangan yang dihadapi adalah mewujudkan ajaran agama yang mampu sebagai inspirasi dan sumber inspirasi serta ajaran moral untuk menggerakkan masyarakat dalam membangun, mewujudkan kerukunan antar umat beragama dan intern umat beragama.
RPJPD Propinsi Jambi tahun 2005-2025menyatakan bahwa visi pembangunan Propinsi Jambi adalah Jambi yang maju, mandiri, adil, dan sejahtera. Untuk mewujudkan visi pembangunan tersebut ditempuh melalui 6 (enam) misi pembangunan Provinsi Jambi, salah satunya adalah mewujudkan masyarakat beriman, bertaqwa, dan berbudaya dengan jalan memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, memelihara kerukunan internal dan antar umat beragama, melaksanakan interaksi antar budaya, mengembangkan nilai-nilai luhur budaya dan kearifan lokal, dan memantapkan landasan spiritual, moral, dan etik pembangunan daerah.
Terciptanya kondisi masyarakat yang agamis, bermoraldanberetikasangatpentingbagiterciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Disamping itu, kesadaran akan beragama dan berbudaya akan menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif. Pembangunan agama diarahkan untuk mewujudkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan diri pribadi, bermasyarakatberbangsadanbernegara.Disamping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan harmonisasi kehidupan internal dan antar umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi antar kelompok masyarakat sehingga terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang soleh, toleran, tenggang rasa, dan harmonis.
PEMBAHASAN
Himpunan Penceramah Jambi (HPJ) resmi berdiri pada 1 Januari 2010 bertepatan dengan
Peran Himpunan Penceramah Jambi Dalam Pembangunan Bidang Agama Di Kota Jambi - M. Agus Noorbani | 87
1 Muharam 1430 H dengan dikukuhkannya kepengurusan pertama oleh Drs. H. Maryadai, M.Pd., Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Jambi. Pengurus organisasi ini dibentuk berdasarkan hasil pertemuan 16 penceramah yang aktif di kota Jambi pada 04 Desember 2009 di rumah Ust. Drs. RidwanJalil,M.Pd.I.Bertindaksebagaiketuaperiode pertama ini adalah Ust. Drs. Ridwan Jalil, M.Pd.I dengan susunan organisasi terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan bendahara. Kepengurusan ini membawahi 4 bidang, yaitu; bidang kaderisasi dan pengaturan jadwal ceramah, bidang pembinaan muallah, bidang pengkajian dan penelitian, bidang hubungan masyarakat dan publikasi dakwah, dan bidang majelis zikir.
HPJ didirikan karena melihat pesatnya pertumbuhan pusat pendidikan keagamaan masyarakat di Kota Jambi, seperti pengajian majelis taklim, pengajian di masjid-masjid,pengajian di tingkat Rukun Tetangga (RT), maupun di perkantoran pemerintah dan swasta. Namun demikian, pesatnya pertumbuhan pendidikan keagamaan masyarakat ini tidak diimbangi oleh para pengajar atau pendakwah yang jumlahnya masih terbatas dan tidak terorganisir. Selain jumlah yang terbatas dan tidak terorganisir, tak jarang ditemui para pendakwah yang kerap dikeluhkan oleh umat karena metode penyampaian mereka dan materi yang disampaikan yang tidak berkenan di kalangan umat.
HPJ didirikan dengan tekad menyatukan para pendakwah di Kota Jambi agar dapat memberikan pelayanan pada umat secara terorganisir. HPJ didirikan juga dengan maksud meningkatkan kualitas penyampaian materi dakwah para da’i dengan langkah-langkahpembinaan berdasarkan hasil diskusi internal, serta membahas berbagai permasalahan yang aktual dan dibutuhkan masyarakat. Dengan adanya organisasi ini, maka para pendakwah di kota Jambi dapat mendapatkan pengetahuan terbaru mengenai dakwah, rambu- rambu yang harus dipatuhi dalam berdakwah, dan wawasan terbaru mengenai permasalahan di masyarakat yang baru.
Anggota HPJ merupakan para penceramah yang telah memiliki jam terbang tinggi dan terkenal di Kota Jambi. HPJ hanya menerima keanggotaan bagi mereka yang mampu memberikan ceramah agama. Beberapa dari anggota HPJ merupakan penyuluh fungsional, ada yang bertugas sebagai
PNS struktural di lingkungan Kementerian Agama, dosen di perguruan tinggi, dan profesi lainnya. Pendidikan para anggotanya lebih banyak yang telah menempuh jenjang magister di perguruan tinggi Islam, tidak sedikit juga yang lulusan lembaga pendidikan umum.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi menyebutkan bahwa, HPJ berazaskan Alquran dan Sunnah serta berazaskan Pancasila dan UUD 1945. HPJ berdiri dengan tujuan untuk membina masyarakat yang tergabung dalammajelis-majelis taklim atau pengajian-pengajian rutin untuk menjalankan syariat Islam yang baik dan benar sehingga terwujud masyarakat Islam yangsebenar-sebenarnya. Meski hendak mewujudkan masyarakat yang taat menjalankan syariat Islam, namun HPJ juga menyatakan bahwa organisasi ini bertujuan memupuk dan memelihara silaturahmi dan rasa ukhuwah islamiyah serta kekeluargaan, dan mewujudkan kerja sama yang utuh dan jiwa pengabdian kepada masyarakat dan menumbuh suburkan kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kegiatan utama anggota HPJ adalah mengisi ceramah agama di banyak majelis taklim yang ada di kota Jambi. Meski materi ceramah yang disampaikan paraanggotanyatidakadakeharusanpenyeragaman, namun ada hari-hari tertentu diadakan pertemuan anggota membahas permasalahan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat. Secara garis besar, permasalahan yang dibahas adalah hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, fikih, serta akhlak dan tasawuf.
Selain permasalahan agama yang pokok tersebut, dalam beberapa kesempatan, para anggota HPJ juga menyisipkan materi mengenai beberapa program pemerintah. Hal-hal yang berkenaan dengan kerukunan, keragaman pemikiran agama, zakat dan wakaf, adalah di antara beberaap hal yang kerap disampaikan dalam ceramah-ceramah agama mereka. Tak jarang pula, program-program pemerintah lainnya seperti kesadaran untuk menggunakan hak pilih juga disampaikan meski tidak membuat para penceramah HPJ menjadi cenderung partisan. Melalui para penceramah HPJ ini, makaprogram-program pemerintah dalam bidang agama, bahkan juga bidang lainnya dapat tersampaikan ke masyarakat. HPJ bekerjasama dengan BNN, Lembaga Pemasyarakatan, Kepolisian,
88 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 1 Juni 2015
Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kotamadya. HPJ juga kerap mengisi kegiatan para calon anggota legislatif (caleg). Meski demikian, setiap anggotanya yang menghadiri kegiatan caleg tersebut, tidak serta merta menjadi pendukung salah satu partai atau caleg. Materi yang disampaikan adalah tema- tema kepemimpinan yang umum, seperti amanah, kejujuran, dan sikap adil.
Beberapa anggota HPJ juga telah memiliki jaringan yang sangat luas. Beberapa kali mereka diikutkan dalam kegiatan sosialisasi program kerja Gubernur Jambi. Mereka juga mengisi jadwal tetap ceramah agama di stasiun televisi dan radio lokal. Selama ini Kanwil Kemenag Propinsi Jambi dan Kanmenag Kota Jambi memiliki harapan besar kepada HPJ, karena mereka berhadapan langsung dengan masyarakat di masjid-masjid. Sementara para penyuluh hanya beberapa saja yang sanggup aktif hingga masjid-masjid di masyarakat. Beberapa ustad yang tergabung dalam HPJ setiap sore hadir atau diminta untuk melakukan pembinaan oleh masyarakat langsung.
Anggota HPJ sering mendiskusikan materi- materi ceramah mereka dalam forumbahtsul masail di antara para anggotanya. Perkembangan terbaru mengenai fatwa-fatwayang dikeluarkan MUI, perkembangan mengenai Ahmadiyah dan LDII, kemudianhasil-hasil keputusan Bakorpakem juga menjadi bahasan di dalam forum bahtsul masail sebelum disampaikan ke masyarakat melaluimasjid-masjid binaan. Terdapat 33 masjid di kota Jambi yang terdaftar, yang menjadi binaan atau kerap dikunjungi oleh ustadz-ustadz yang tergabung dalam HPJ. Disamping 33 masjid tadi, ada juga masjid lain yang meminta diisi langsung ceramah agamanya oleh ustadz-ustadzdalam HPJ ini.
Selain permasalahan-permasalahan yang sudah menjadi konsumsi umum, permasalahan- permasalahan yang bersifat khilafiyah yang belum layak disampaikan kepada masyarakat luas juga menjadi bahasan dalam forum bahtsul masail, sebelum kemudian disampaikan kepada masyarakat. Permasalahan yang kerap dibahas dalam forum ini adalah permasalahan aqidah, fiqhiyah, akhlak dan tasawuf.
Menurut anggota HPJ, materi ceramah yang disampaikan para penceramah yang tergabung dalam HPJ ini jarang berisikan materi yang tidak menyejukkan. Salah satu khutbah Jumat yang disampaikan oleh ustadz Ramli, salah satu anggota
HPJ, misalnya berisikan materi mengenai etos kerja kaum muslim. ustadz Ramli mengutip sebuah riwayat pada zaman Rasulullah saw mengenai Saad bin Muaz. Ia dalam suatu kesempatan bersalaman dengan Rasulullah saw dan beliau merasakan tangan Saad bin Muaz yang kasar. Beliau saw kemudian bertanya, apa sebab tangannya kasar sedemikian rupa. Saad pun menjawab, bahwa ia membajak tanah untuk menafkahi keluarganya. Rasulullah saw kemudian berkata, bahwa inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.
Materi ceramah lain disampaikan oleh ustadz Ridwan Jalil dalam sebuah majelis taklim khusus ibu-ibu di sore hari. Materi yang disampaikan berkenaan dengan rasa takut kepada Allah, Zat Yang Maha Kuasa. Dalam ceramah yang diselingi tanya jawab tersebut, ustadz Ridwan Jalil menyisipkan ajakan bagiibu-ibu anggota majelis taklim untuk mengikuti pemilihan anggota legislatif. Menurutnya, mengikuti pemilu adalah sebuah kewajiban dan haram hukumnya jika tidak ikut serta. Karena memilih wakil rakyat merupakan kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara. Sebab, jika tidak ikut serta memilih, kemudian wakil rakyat yang terpilih tidak amanah atau tidak mewakili aspirasi kaum muslim, maka jamaah sekalian akan ikut menanggung kesalahan dan dosanya.
Himpunan Penceramah Jambi (HPJ) sebagai organisasi dakwah yang berskala lokal, telah memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan di Kota Jambi, tidak saja dalam bidang agama melainkan juga dalam bidang lainnya. Berbagai aktivitas yang dilakukan organisasi ini dalam bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah menjelaskan apa yang dikemukakan Putnam (dalam Norris dan Inglehart, 2009: 219) bahwajaringan-jaringan horizontal yang ada dalam masyarakat sipil memiliki dampak-dampaksosial penting, baik bagi orang orang-orangyang ada di dalam jaringan tersebut maupun bagi masyarakat pada umumnya.
HPJ memainkan peran sebagai kelompok rujukan dalam tataran normatif. Posisi para anggotanya yang merupakan pemuka agama di Kota Jambi memberikan kekuatan bagi kelompok ini untuk dapat dipandang mampu memberikan kekuatan atas individu untuk mau menerima nilai- nilai yang disampaikan dalam berbagai materi ceramah yang mereka berikan. Kemampuan organisasi ini untuk dapat menjadi kelompok
Peran Himpunan Penceramah Jambi Dalam Pembangunan Bidang Agama Di Kota Jambi - M. Agus Noorbani | 89
rujukan akhirnya dipergunakan oleh kalangan pemerintah untuk membantu menyampaikan berbagai program pembangunan di kota, bahkan Provinsi, Jambi.
Posisi para pemuka agama yang, seperti dikemukakan Isma (2005: 1-2) bahwa secara tradisional dianggap alim (ahli agama) oleh masyarakat Kota Jambi sehingga menjadi panutan masyarakat, diikuti, dipatuhi, juga sebagai pemimpin sosial yang dihormati membantu mempermudah para penceramah HPJ ini untuk menyampaikan tidak sajamateri-materi ceramah keagamaan, namun jugamateri-materi lain yang berkenaan dengan program pemerintah kepada para pengikutnya dalam majelis-majelis taklim atau forum lainnya. Kharisma para ulama ini tidak hanya didasarkan pada penguasaannya pada bidang keagamaan semata, namun lebih dari itu kharisma mereka juga diukur dari kapasitas kehidupan sosialnya berupa perilaku, pandangan, sikap, kepedulian dan integritasnya dalam membina kehidupan masyarakat di lingkungan sosialnya.
Orientasi pembangunan Kota Jambi pun didasarkan atas pandangan, bahwa manusia merupakan entitas yang terdiri dari jasmani dan rohani. Karenanya, pelibatan pemimpin agama dalam berbagai program pembangunan menjadi penting. Dalam pelaksanaannya, peran para penceramah yang tergabung dalam HPJ ini diperluas tidak saja pada pembangunan bidang ruhani. Beberapa peran yang dimainkan para penceramah HPJ dalam pembangunan Kota Jambi adalah sebagai motivator, pembimbing dan pemberi landasan etis dan moral, serta sebagai mediator.
Berbagai peran yang dimainkan oleh para ustadz yang tergabung dalam HPJ tersebut, seperti tergambar di atas, tidak saja dalam berbagai aktivitas mereka, namun juga dalam berbagai materi ceramah yang mereka berikan kepada masyarakat. Dalam berbagai kesempatan mengisi pengajian atau kgiatan ibadah formal, para penceramah yang tergabung dalam HPJ ini memberikan dorongan bagi masyarakat Kota Jambi untuk menumbuhkannilai-nilai positif dalam diri mereka, seperti bersikap optimis akan hidup, memiliki etos kerja yang tinggi, dan memberikan dorongan bagi masyarakat untuk selalu mau melakukan perubahan menjadi individu dan masyarakat yang lebih baik.
Para penceramah HPJ ini tak jarang juga memberikan landasan moral dan etis bagi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Seperti memberi legitimasi hukum keharusan mengikuti pemilu melihat aspek manfaat dan mudharat jika masyarakat ikut serta atau tidak dalam pemilu. Pada saat yang bersamaan mereka memberikan tuntunan dan patokan etis agama sebagai rambu-rambu bagi masyarakat, terutama mereka yang berkampanye menjadi calon anggota legislatif. Peran penceramah HPJ sebagai mediator dalam pelaksanaan pembangunan terlihat dalam jalinan kerja sama yang mereka bangun dengan berbagai pihak seperti instansi pemerintah, pengusaha hingga masyarakat awam.
Peran yang dimainkan oleh para ulama yang tergabung dalam HPJ ini sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan Isma, (2005:12–15) bahwa selain memiliki peran dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama, para ulama yang ada di Jambi terkadang juga memiliki peran di bidang sosial kemasyarakatan. Namun, jika semasa Orde Baru berkuasa kaum ulama dimanfaatkan sebagai legitimator setiap kebijakan yang berhubungan dengan kehidupan umat, maka pada masa kini peran mereka lebih luas lagi menjadi motivator dan juga pembimbing umat. Para ustadz atau penceramah HPJ ini masih dapat memberikan pandangan kritis terhadapkebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atau jika muncul kondisi yang meresahkan di masyarakat akibat kekeliruan pemerintahan.
Posisi dan peran penting para penceramah HPJ ini kemudian berdampak ada posisi HPJ yang siginifikan dalam masyarakat Jambi. HPJ sebagai ormas keagamaan kemudian memiliki peran, tidak saja kepada Pemerintah Kota Jambi khususnya, tapi juga pemerintah Provinsi Jambi, bahkan lebih luas memberikan dampak penting bagi masyarakat Kota Jambi. Keterlibatan aktif HPJ langsung di tengah masyarakat Jambi dan juga dalam jaringan- jaringan pemerintahan dan pengusaha membuat mereka melakukan kontak langsung, mencapaitujuan-tujuan komunitas tertentu, dan mendorong berbagai perbaikan yang lebih luas. Pada akhirnya, HPJ berfungsi sebagai sumber daya penting bagi instansi pemerintah yang menghasilkan beragam keuntungan toleransi sosial hingga mengeliminir konflik di tengah masyarakat. HPJ, meminjam apa yang dikemukakan Putnam (Norris dan Inglehart, 2009: 219) kemudian menjadi modal sosial membuat masyarakat Kota Jambi menjadi lebih cerdas, sehat, aman, dan kaya.
90 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 1 Juni 2015
Pelibatan para ustadz dalam bidang pembangunan Kota Jambi, menjadikan agama tidak saja sebagai legitimator namun juga menjadi agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong penggerak serta pengendali bagitindakan-tindakan anggota masyarakat Kota Jamb untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilaikebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
PENUTUP
Berdasarkan uraian hasil kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa para ustadz penceramah yang tergabung dalam Himpunan Penceramah Jambi (HPJ) memiliki posisi dan peran penting dalam mendukung program pembangunan bidang agama Kota Jambi. Peran mereka tidak sekedar mengisi pembangunan bidang ruhani bagi masyarakat Kota Jambi, para penceramah yang tergabung dalam HPJ ini juga membantu penyebarluasan program pembangunan bidang jasmani. Peran para penceramah HPJ ini, selain sebagai pembimbing dan pemberi landasan moral dan etis, mereka juga bertindak sebagai motivator dan mediator antara masyarakat dengan pemerintah dan pengusaha.
Materi-materi ceramah yang disampaikan tidak pernah berisi hasutan-hasutan yang dapat membuat kisruh atau memicu konflik di tengah masyarakat. Sebab, berbagai materi ceramah yang disampaikan sering telah didiskusikan dalam forum internal. Ada semacam sistem kontrol internal agar apa yang disampaikan dalam ceramah agama mereka dapat membantu menjaga suasana damai di tengah masyarakat. Materi ceramah yang diampaikan juga tak jarang diselingi dengan berbagai ajakan untuk membantu mendukung program pemerintah, tidak saja dalam bidang agama, namun juga bidang lainnya demi kemajuan Kota Jambi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini dan rampungnya karya tulis ini. Terima kasih tak terhingga terutama penulis sampaikan kepada para uztadz yang tergabung dalam HPJ. Kemudian kepada berbagai pihak yang memberi masukan demi perbaikan tulisan ini. Pihak editor dan redaktur penerbitan karya tulis ini juga memiliki jasa tak kalah besar, termasuk
Balai Litbang Agama Jakarta yang telah membiayai terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bone,AbdulAziz,dkk.1988.PerananPeneranganAgama dalam Menunjang Pembangunan. Jakarta: Balai Penelitian dan Kemasyarakatan Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, terj. Testriono, Olan Dahuri, dan
Irsyad Rhafsadi, Jakarta: Mizan.
Chpalin, J.P., 2004. Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, cet. ke-9, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Faridl, Miftah. 2007. Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia, dalam Jurnal Sosioteknologi, edisi 11 tahun 6.
Gaol, Chr. Jimmy L. 2014. A to Z Human Capital Manajemen Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori, dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik dan Bisnis. Jakarta: Grasindo.
Hidayat, Mansur. 2008. Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani; Telaah Teoritik-Historis.Komunitas; Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. I, Nomor 4
Isma, As’ad, 2005. Pergeseran Peran Sosial Tuan Guru dalam Masyarakat Jambi Seberang.
Kontekstualita; Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 20, No. 1.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama, Cet.ke-5, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Koentjaraningrat, 2008. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, cet.ke-23. Jakarta: Gramedia.
Moesa, Ali Maschan. 2002. Agama dan Demokrasi; Komitmen Muslim Tradisional terhadap Nilai-nilaiKebangsaan. Surabaya: Pustaka Da’i Muda.
Narwoko, J. Dwi, dan Suyanto, Bagong. (ed.) 2006.
Sosiologi; Teks dan Pengantar Terapan, cet. ke- 2. Jakarta.
Norris, Pippa dan Inglehart, Ronald. 2009.
Sekularisasi Ditinjau Kembali; Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini, terj. Zaim Rofiqi. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Patoni, Achmad. 2007. Peran Kiai Pesantren dalam
Peran Himpunan Penceramah Jambi Dalam Pembangunan Bidang Agama Di Kota Jambi - M. Agus Noorbani | 91
Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saidi, Ridwan. 1984. Islam dan Moralitas
Pembangunan. Jakarta: Pustaka Panjimas. Salim, Emil. 1991. Pembangunan Berwawasan
Lingkungan, cet. ke-4. Jakarta: LP3ES. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2004. Teori-teori Psikologi
Sosial, cet. ke-9. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Scharf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama, ed. ke-2,terj. Machrum Husein. Jakarta: Prenada Media.
Soekanto, Surjono. 2009. Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sutarto, 2006. Dasar-dasar Organisasi, cet. ke-21.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Trijono, Lambang. 2007. Pembangunan sebagai Perdamaian; Rekonstruksi Indonesia Pasca- Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wahab, Wahyudi Abdul. 2008. Tipologi Gerakan Ulama NU Kuala Tungkal di Era Reformasi. Jambi: IAIN Sultan Thaha Saifudin, Disertasi tidak diterbitkan.
Peraturan dan Perundang-undangan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jambi Tahun 2005 – 2025
UU Nomor 17 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
92 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 1 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKNA LEBARAN DITINJAU DARI ASPEK PENDIDIKAN

MAKNA LEBARAN DITINJAU DARI ASPEK  PENDIDIKAN Oleh. Dr.H.M.Ridwan Jalil.M.Pd.I Setelah berpuasa satu bulan lamanya, Berzakat fitrah menurut ...